"Sua, AKU BENCI
PADA MEREKA! Aku BENCI mereka Sua!! Sua... " Wanita itu mengumpat penuh
keputus asaan. Matanya berlinangan butiran bening yang menganak sungai
membasahi wajahnya. Ekspresi kecewa dan putus asanya tergambar jelas dari
gesture nya. Hidung yang menahan ingus untuk keluar. Tangisannya terbata-bata karena cegukan ikut
andil. Tangan yang ingin dilampiaskan, -menghantam, melempar, memukul, apapun
itu - untuk mengurangi gejolak jiwa yang meledak-ledak. Tubuh itu meringkuk
lemah di depanku setelah sebelumnya gemetar hebat menahan amarah yang tertahan.
Aku serba salah. Aku tidak tega melihat wanita itu terpukul begitu kuat. Aku
yakin batinnya berusaha menenangkan diri begitu juga otaknya, tapi sepertinya
gagal.
"Sua, aku ingin,, hiks.." Suaranya tertahan karena
tangisannya.
"Su..a.. Aku..
Aku ing..in kembali..." Seketika ia menguatkan kakinya yang goyah gemetar
untuk mendekati sisi pagar pembatas di dekatnya. Ia berusaha berdiri di
atasnya. Astaga! Apa yang akan dilakukannya?
Siluet hitam terlintas dipikiranku. Bunuh diri!
Aku berlari
menangkap tubuhnya. Kutarik jauh tubuh itu ke tengah-tengah menjauhi sisi
pinggir gedung. Yah, aku tahu ini cuma
2 lantai. Resiko untuk mati belum 100% jika memang ingin bunuh diri. Masih ada
kemungkinan lain, seperti patah tulang yang membuat cacat. Dengan kondisi
psikologisnya yang seperti ini, tentunya pepatah hidup segan mati tak mau akan
begitu mudah diamininya.
"Sua, lepaskan
Sua..! Jangan halangi aku mencari ketenangan jiwaku.." Wanita itu
berontak.
"El, bahkan
jika kau mati jiwamu tidak akan tentram. Jiwamu masih penasaran dengan cerita
akhir dari orang yang kau tinggalkan. Yang kau anggap memberimu segala masalah
saat ini. Kau tidak bisa mengacuhkannya. Jangan bohongi hatimu dengan
berpura-pura tidak peduli atau lepas tangan dengan cara lompat dari atas gedung
seperti tadi. Hidupmu berharga El." Sua
berusaha menenangkan Ely.
"Seharusnya
mereka jadi panutan, aku kecewa Sua...!"
"El, sadarilah.
Kita tidak bisa menentukan siapa yang akan
menjadi orangtua kita. Kita nggak punya hak untuk milih."
"Tapi
seharusnya mereka bertanggung jawab terhadapku. Anaknya. Bukan malah mentingin
ego mereka!"
Sua menarik nafas
panjang sebelum memutuskan untuk menjawab. "Eli, nggak ada orang tua yang
sempurna. Mereka juga manusia. Aku mengerti perasaanmu. Kecewamu. Nggk
terimamu. Aku ngerti. Biarkan ini berlalu. Semoga kau tidak mengulang hal yang
sama seperti yang dilakukan mereka.
-orangtuamu-"
"Sua..." Eli menatap nanar ke lantai. Sua masih berusaha memilih kata yang tepat agar Eli tidak terpuruk.
"Sua..." Eli menatap nanar ke lantai. Sua masih berusaha memilih kata yang tepat agar Eli tidak terpuruk.
Komentar
Posting Komentar
Jangan jadi silent reader. Tinggalkan jejakmu di sini ya.. :)