Entah kenapa
langit begitu mendukung malam ini. Walau awan kelam terus bersekongkol dengan
angin agar bisa menghalangi keramahan sinar rembulan. Bintang tak begitu suka
menampakkan diri jika di sini. Terangnya lampu perkotaan mengalahkan sinarnya
yang redup redam.
Telah pukul
00.00 WIB dan aku masih duduk di atas sini. Tidak peduli dingin yang mulai
menyerang sedari tadi tanpa henti dan juga rentetan jarum penghisap yang masih
saja kehausan, nyamuk. Walaupun tertutup, bulan masih memancarkan sinarnya
setidaknya untuk membuat langit di atasku berwarna terang.
Kupandang jauh
menjelajah gedung-gedung yang bersusun di hadapanku. Anganku melayang sampai
kepadamu. Seolah-olah kau ada tepat dalam pandanganku yang jauh itu sambil
memandangku. Bagaimana tidak, jarak ini sudah sangat menyiksa.
Ren, kau
dimana? Kenapa kau menghilang lagi. Kenapa kau pergi lagi. Sampai kapan hati
ini harus menunggu? Apa kau baik-baik saja di sana?
Berharap aku
mendengar jawaban darimu. Tapi yang kudengar hanyalah desiran lembut sang bayu
yang masih belum menyerah untuk membuatku kedinganan di luar sini. Angin malam
yang masih berusaha memaksaku untuk masuk dan beristirahat. Aku enggan. Aku
masih ingin di sini.
Tak
tertahankan lagi. Tetesan demi tetesan air mata ini sudah membuat jalurnya
untuk terjatuh. Air mata ini sekejap menghangatkan pipiku. Ren, aku nangis
lagi. Ren, maafkan aku, aku nggak bisa memenuhi permohonanmu untuk tidak
menangis lagi. Lihatlah, sudah basah. Sudah basah semua. Bahkan aku sesenggukan
sekarang.
Ren, aku
merindukanmu. Tapi tenanglah Ren, kan kunikmati rindu yang perlahan membunuhku. Air
mata ini untukmu. Menguaplah air mataku dan jadilah embun pagi untuknya. Jangan
lupa sampaikan salamku untuknya.
Maafkan hati yang lemah ini.
puitisss bingitt
BalasHapus:) thanks
Hapus