"Ren, Halonya bagus kan? 2 lapis pelangi mengelilingi bulan. Fenomena yang cukup langka loh. Bukankah istimewa pertemuan kita malam ini? "
"Bertemu? "
"Iya, bertemu Ren. Walaupun hanya suara. Kemana saja kau tiga minggu ini? Kenapa tidak ada kabar?"
"Kau sombong kali Mi. Yang udah lupanya kau sama aku, masa' 3 minggu ini kau nggak ada ngasi kabar samaku."
"Aku takut kau marah Ren."
"Kenapa aku harus marah, Mi?"
"Bukankah kata-kata terakhirmu kemarin, 'kita sampai disini'? Aku tidak ingin membuatmu lebih menderita dengan hatiku yang lemah ini, Ren."
"Jadi nyesal aku ngomongnya, Mi. Kau selalu seperti itu. Lupakanlah. Kau tetap pacarku. Hati ini tidak mampu mencari kunci yang lain, Mi. Bagaimanapun kau memintaku untuk mencari kunci yang lain. Itu hanya membuatku semakin terluka."
Aku hanya terdiam. Mulutku kelu dan otakku tidak lagi memproduksi topik yang bisa membuat arah percakapan menjadi lebih baik. Pandanganku teralih ke sang bulan yang semakin terang. Halo pun sudah enggan mengelilinginya. Mungkin minder melihat sinar bulan yang lebih terang. Ah, sombongnya kau bulan, pikirku.
"Mi, ngomonglah."
"Kaulah yang cerita Ren."
"Tau kau apa yang terjadi selama tingga minggu ini, Mi?"
"Nggak."
"Huft. Aku ganti Handphone jadi, semua nomor kontakku hilang. Makanya gk bisa aku ngasi kabar samamu. Untunglah masih ada nomor Bapak sama nomor si Rony. Palak kali aku liat kalian dua. Selalu kalian lah yang bikin aku gondok. Tiga hari ini maki-maki aja kerjaku."
"Hahaa... Ntahnya jodoh kali aku sama si Rony, Ren. Haha.."
"Ck!"
"Hehe.. Udah kudengar lagumu itu."
"Lagu yang mana?"
"Yang manalah?"
"Yang mana Mi? Banyak loh."
"Lagu kesukaanmu apa?"
"Last Child"
"Itulah, lagu dari Last Child. Tak Pernah Ternilai. Satu minggu aku galau setelah dengar lagumu itu."
"Kenapa galau kau, Mi?"
"Nggak papa, Ren. Galau aja. Rasanya ngenak kali samaku."
"Kok ngenak samamu? Jadi nyesal aku ngasinya samamu."
"Udalah. Nggaknya papa. Makin merasa bersalah kali aku samamu, Ren."
"Kenapa ngenak ke kau, Mi? Lagunya itu satu pun kata-katanya itu pas kali sama aku. Apa hubungannya samamu? Kau tau Mi? Lagu-lagu orang itu dari kisah nyata orang itu loh"
"Iya? Gak yakin aku Ah, menurutku, mereka terinspirasi dari kisah kita, Ren. Kayak Seluruh Nafas Ini. Itukan ngenak kali sama kita, Ren."
Tidak ada balasan dari Ren. Setelah beberapa lama, kudengar suara dari sana.
"Bawalah hatiku dan lekas kembali.. Kunikmati rindu yang datang membunuhku. Untukmu seluruh nafas ini."
Kudengar alunan lagu itu dengan suara lirih darinya. Rasanya, hatiku benar-benar mati lumpuh. Nggak mau membuatnya lebih tersiksa lagi.
"Sampai kapannya kayak gini kita Mi? Kapan cerita sedih ini selesai?"
"Aku pun nggak tau Ren. Aku nggak bisa menentukan waktunya dan bagaimana cara menyudahinya. Emh.. Coba aja tanyak sama Last Childnya. Uda berhasil kah dia menyelesaikannya?"
"Hahaha.. "
Percakapan kitapun mulai mencair. Gelitik angin mulai menjadi pengganggu di tengah percakapan kita. Tapi, seolah-olah hati tidak menghiraukan. Kita sedang bertemu saat ini. Baik Aku dan Kamu tidak rela untuk membiarkan halangan ini mengganggu pertemuan kita. Kita pasti akan bertemu lagi. Nanti.
Satu minggu lagi aku akan berulang tahun. Aku ingin kau ada di sini. Tapi harapan itu cepat-cepat ku tarik kembali. Meskipun dari persentase kenekatanmu yang memegang prinsip Gunung kan kudaki Laut Pun Kuseberangi sudah tidak kuragukan lagi. Aku tidak ingin membuatmu berkorban lebih lagi. Ini saja sudah cukup. Hatiku tidak akan mampu lagi untuk menerima sakit ini. Perang batin di antara hati kita dimana sampai saat ini kita tetap menjadi korban dari perang kita sendiri.
Sampai bertemu lain kali, Ren.
"Bertemu? "
"Iya, bertemu Ren. Walaupun hanya suara. Kemana saja kau tiga minggu ini? Kenapa tidak ada kabar?"
"Kau sombong kali Mi. Yang udah lupanya kau sama aku, masa' 3 minggu ini kau nggak ada ngasi kabar samaku."
"Aku takut kau marah Ren."
"Kenapa aku harus marah, Mi?"
"Bukankah kata-kata terakhirmu kemarin, 'kita sampai disini'? Aku tidak ingin membuatmu lebih menderita dengan hatiku yang lemah ini, Ren."
"Jadi nyesal aku ngomongnya, Mi. Kau selalu seperti itu. Lupakanlah. Kau tetap pacarku. Hati ini tidak mampu mencari kunci yang lain, Mi. Bagaimanapun kau memintaku untuk mencari kunci yang lain. Itu hanya membuatku semakin terluka."
Aku hanya terdiam. Mulutku kelu dan otakku tidak lagi memproduksi topik yang bisa membuat arah percakapan menjadi lebih baik. Pandanganku teralih ke sang bulan yang semakin terang. Halo pun sudah enggan mengelilinginya. Mungkin minder melihat sinar bulan yang lebih terang. Ah, sombongnya kau bulan, pikirku.
"Mi, ngomonglah."
"Kaulah yang cerita Ren."
"Tau kau apa yang terjadi selama tingga minggu ini, Mi?"
"Nggak."
"Huft. Aku ganti Handphone jadi, semua nomor kontakku hilang. Makanya gk bisa aku ngasi kabar samamu. Untunglah masih ada nomor Bapak sama nomor si Rony. Palak kali aku liat kalian dua. Selalu kalian lah yang bikin aku gondok. Tiga hari ini maki-maki aja kerjaku."
"Hahaa... Ntahnya jodoh kali aku sama si Rony, Ren. Haha.."
"Ck!"
"Hehe.. Udah kudengar lagumu itu."
"Lagu yang mana?"
"Yang manalah?"
"Yang mana Mi? Banyak loh."
"Lagu kesukaanmu apa?"
"Last Child"
"Itulah, lagu dari Last Child. Tak Pernah Ternilai. Satu minggu aku galau setelah dengar lagumu itu."
"Kenapa galau kau, Mi?"
"Nggak papa, Ren. Galau aja. Rasanya ngenak kali samaku."
"Kok ngenak samamu? Jadi nyesal aku ngasinya samamu."
"Udalah. Nggaknya papa. Makin merasa bersalah kali aku samamu, Ren."
"Kenapa ngenak ke kau, Mi? Lagunya itu satu pun kata-katanya itu pas kali sama aku. Apa hubungannya samamu? Kau tau Mi? Lagu-lagu orang itu dari kisah nyata orang itu loh"
"Iya? Gak yakin aku Ah, menurutku, mereka terinspirasi dari kisah kita, Ren. Kayak Seluruh Nafas Ini. Itukan ngenak kali sama kita, Ren."
Tidak ada balasan dari Ren. Setelah beberapa lama, kudengar suara dari sana.
"Bawalah hatiku dan lekas kembali.. Kunikmati rindu yang datang membunuhku. Untukmu seluruh nafas ini."
Kudengar alunan lagu itu dengan suara lirih darinya. Rasanya, hatiku benar-benar mati lumpuh. Nggak mau membuatnya lebih tersiksa lagi.
"Sampai kapannya kayak gini kita Mi? Kapan cerita sedih ini selesai?"
"Aku pun nggak tau Ren. Aku nggak bisa menentukan waktunya dan bagaimana cara menyudahinya. Emh.. Coba aja tanyak sama Last Childnya. Uda berhasil kah dia menyelesaikannya?"
"Hahaha.. "
Percakapan kitapun mulai mencair. Gelitik angin mulai menjadi pengganggu di tengah percakapan kita. Tapi, seolah-olah hati tidak menghiraukan. Kita sedang bertemu saat ini. Baik Aku dan Kamu tidak rela untuk membiarkan halangan ini mengganggu pertemuan kita. Kita pasti akan bertemu lagi. Nanti.
Satu minggu lagi aku akan berulang tahun. Aku ingin kau ada di sini. Tapi harapan itu cepat-cepat ku tarik kembali. Meskipun dari persentase kenekatanmu yang memegang prinsip Gunung kan kudaki Laut Pun Kuseberangi sudah tidak kuragukan lagi. Aku tidak ingin membuatmu berkorban lebih lagi. Ini saja sudah cukup. Hatiku tidak akan mampu lagi untuk menerima sakit ini. Perang batin di antara hati kita dimana sampai saat ini kita tetap menjadi korban dari perang kita sendiri.
Sampai bertemu lain kali, Ren.
Komentar
Posting Komentar
Jangan jadi silent reader. Tinggalkan jejakmu di sini ya.. :)