Semut betina menjawab panggilan sang Ratu pada suatu malam di hari yang selesai dengan rintik hujan. Bulan tidak begitu terlihat sebab sedang berselimut awan namun sinarnya masih tampak, meski malu-malu. Semut itu berjalan memasuki ruangan sang Ratu yang tampak lelah namun segera bersemangat ketika melihat semut betina masuk.
" Ya, Ratu? Hamba sudah datang sesuai panggilan Ratu. Maafkan Hamba untuk panggilan yang terlewat kemarin dulu."
"Tidak apa. Silakan berdiri dan dengarkan baik-baik." Semut betina itu mengikuti perintah sang Ratu.
"Telah cukup usiaku untuk melahirkan anak-anak. Mungkin satu putaran bulan lagi, aku akan beristirahat. Kerajaan kita tidak mungkin berjalan tanpa seorang ratu. Maka dengan segala pertimbangan, aku memilihmu sebagai penggantiku."
Semut betina itu terkejut. Segala perasaan bercampur padu menghasilkan rasa datar. Tidak senang, tidak pula sedih, tidak pula marah, pokoknya flat saja. Namun membisik pertanyaan dalam hatinya, kenapa aku? Apa hebatnya aku? Masih ada senior yang lebih baik. Aku bahkan baru lahir kemarin sore. Dengan pengalamanku yang terbatas ini, apa aku mampu? Ratu mengada-ada.
"Apakah Ratu yakin? Aku belum sepiawai semut betina lainnya. Tidakkah sebaiknya diadakan rapat untuk menentukan pengganti Ratu selanjutnya. Tidak baik jika Ratu memilih sepihak saja. Jika demikian, tentulah tanggung jawab dan beban moralku nantinya akan sangat berat."
Sang Ratu tampak tidak begitu setuju, karena ia pun tahu sendiri bagaimana anggota lainnya yang lebih senior dibanding semut betina ini. Tidak ada diantara mereka yang mau mengambil bagian untuk kerajaan tetapi hanya mau terima bersih atau pun memilih kerja, kerja, makan. Sesungguhnya, sudah susah hati sang Ratu memikirkan solusi permasalahan ini. Haruskah ku'tumbal'kan anak muda ini? bisik hati kecil sang Ratu.
"Tidak apa anak muda. Aku yang akan membantumu dan mengajarimu nanti. Senior yang lain pun demikian. Sudah kutuliskan jadwal agenda untukmu dan lain halnya yang mungkin akan kau perlukan nanti."
"Ta-tapi Ratu..."
"Tidak ada kata tapi. Santai saja. Kerjamu juga tidak banyak. Pergilah, lanjutkan kerjamu sebelum kau akhirnya nanti menduduki kursi ini."
"Ta.." suara semut betina itu pelan. Ia tidak berani melanjutkan meski rasanya ingin mengatakan seterang-terangnya bahwa ia tidak mau kursi itu. Ia hanya ingin pekerjaan damainya. Kerja, kerja, makan. Meski harus terus menyabung nyawa karena manusia di tempat mereka mengumpulkan makanan telah menaruh kapur racun pada jalan-jalan mereka. Ia pun sesungguhnya sedang terkena racun kapur itu yang membuatnya sesekali akan sesak nafas seperti mau meninggal. Ya, dua kali sudah ia mati suri.
***
Bagaimanakah kisah hidupnya selanjutnya?
Bersambung.
Komentar
Posting Komentar
Jangan jadi silent reader. Tinggalkan jejakmu di sini ya.. :)