17 Agustus kali ini,
aku benar-benar berharap kita bisa beribadah bareng setelah itu kita bisa
menikmati hari itu dengan merayakan hari ulang tahun negara kita ini
sekaligus,,, sekaligus H- 30 nya aku di dekade kedua.
Seharusnya, hal itu
sangat mudah untuk dilakukakan. Tapi jauh hari sebelum itu, kau pergi. Kau
pergi ke kampungmu tanpa ijin dulu dariku. Kau bahkan memberitahuku setelah
sesaat lagi kau tiba di tempat tujuanmu. Maksudmu apa? Berkali-kali kau pergi
disaat-saat yang momentum. Dimana kita bisa melukiskan kisah di setiap
kanvas-kanvas waktu yang seharusnya istimewa itu.
Seharusnya.
Seharusnya. Dan seharusnya. Begitu banyak sang kalbu ini kecewa. Begitu banyak
harapan ini yang pupus tanpa sempat menikmati semerbaknya.
"Halo Mi, apa
kabar?" tanyamu dari telpon disana.
"Baik."
Jawabku ketus
"Gimana 17anmu?
Jalan-jalan kemana kau?"
"Gak ada, Cuma
nungguin warnet. Kau gimana? Ngapainlah kau di sana?"
"Main tarik
tambang aku."
"Menang?"
"Nggak. Juara
dua kami."
"Da paten lah
itu. Gimana ceritanya?"
"Pertama kami
lawan sama yang anak mudanya dulu. Kedua tanding antar bapak-bapaknya.
Masing-masing yang menang itu lah untuk rebutkan juara 1 nya. Kami kan menang,
jadi kami lawanlah bapak-bapak itu."
"Terus?"
"Itulah kalah
kami pas tanding sama yang bapak-bapak. Kata orang itu 'wee, anak muda kok
nggak ada tenaganya. Cemana itu?'"
"Hahaha...
"
"Kami jawablah.
Ya nggak mungkinlah awak kalahkan orang tua. Nggak menghormatilah namanya itu.
Haha... Padahal memang gak kuat kami."
"Dasar.."
"Mi, minggu ini
kita ibadah bareng ya. Maaf nggak bisa untuk minggu lalu."
Mendengar hal itu,
rassanya aku benar-benar ingin menumpahkan rasa kecewaku. Apa dia itu nggak
ingat apa? H-30!?
"Nggak bisa,
aku pergi minggu ini."
"Yaudah nanti
aku yang antar kamu ke stasiun."
"Kenapa lah kau
pergi seenakmu aja?! Seharusnyakan kita bisa ngerayain H-30ku. Apa kau sudah
lupa? Yang tega lah kau Ren! Aku tahu kau sibuk tapi setidaknya...
Setidaknya..." Suaraku terhenti. Aku mulai terisak. Air mata pun ikut
serta mengalir keluar seolah sudah bosan di tempat penampungannya.
"Mi..Mi..
Please jangan nangis. Aku nggak bisa dengar kau nangis. Aku nggak mau air
matamu yang berharga itu harus keluar lagi. Nggak bisa aku dengar kau nangis
Mi."
Aku seolah tidak
peduli akan bujukannya itu. Semakin hebat rasanya isak tangisku ini. Dia selalu bilang jangan nangis, tetapi dari banyaknya tangisanku dialah penyebab semua itu.
"Ren, aku nggak
ngerti jalan pikiranmu. Harus bagaimana lagi aku menggunakan rasa dan logikaku
untuk memahamimu. Harus gimana lagi?!!" Emosiku mulai mengambil alih.
"Mi, maafkan
aku. Sebenarnya aku pergi untuk berobat."
Aku terdiam dalam
hati.
"Berarti parah
yang jatuh waktu itukan Ren? Kenapa kau nggak bilang yang sejujurnya sama
aku?" Air mata mulai menngumpulkan pasukannya lagi untuk menyerbu keluar.
"Maaf, aku
nggak mau buat kau khawatir. Aku nggak mau buat kau nangis. Aku tau pasti nanti
jadi pikiranmu kalau aku cerita. Seharusnya aku nggak bilang soal hal
ini."
Tangisku semakin
menjadi. Ternyata kecurigaanku padanya terlalu berlebihan. Aku pikir dia hanya
semaunya saja pergi.
"Jadi, gimana
sekarang? Apamu yang kena?"
"Ini lagi dalam
pengobatan. Udah mau sembuhnya. Tenanglah Mi. Jangan lagi nangis. Nggak sanggup
aku."
Aku masih menangis
walaupun aku sudah berusaha untuk berhenti. Sampai kapan kau tertutup seperti
ini Ren? Sampai kapan? Aku juga ingin tahu bagaimana kabarmu yang sebenarnya.
Kau berlagak seperti seorang pahlawan. Kau memang paling pandai dalam menyimpan
rahasia. Dan kau juga lah yang paling pandai untuk menyimpan hati ini agar
tidak pergi. I'm sorry my Badboy.
Komentar
Posting Komentar
Jangan jadi silent reader. Tinggalkan jejakmu di sini ya.. :)