Mungkin judul ini cukup 'kasar'. Mohon maaf sebelumnya.
Di tulisan ini saya ingin mengungkapkan realita yang saat ini sedang saya alami. (atau mungkin teman-teman dibelahan pulau yang lain juga sedang melihat realita yang sama, #salamsharing)
Semester 7 adalah semester dimana anak kuliahan jurusan pendidikan seperti saya ini melakukan kuliah lapangan. Seperti yang kalian ketahui yang namanya keluar dari kampus pasti bakal jumpa dengan orang-orang lain diluar jurusan dan tentunya di luar dugaan.
Awalnya baik-baik saja dengan semua keadaan ini dan aku merasa sampai saat ini juga baik-baik saja. Gesekan diantara satu dua manusia yang sama-sama punya perasaan aku rasa wajar saja. Yang tidak wajar adalah ketika sakit hati berujung sakit hati. Maksudnya, kita sakit hati sampai menolak keberadaan sipembuat sakit hati tadi. (red: teken mati nggak cakapan lagi. Kalau dicakapi cakapi, kalau nggak, nggak.) Ah... aku rasa kalau kalian anak medan pasti ngertilah yang kayak beginian.
Tapi, sebagai remaja yang masih belajar dewasa, aku sarankan pada kalian semua turang ras senina ula kam bage (red: saudara-saudari janganlah kamu seperti itu). Kita yang dewasa mental seharusnya menanamkan mental hari ini boleh marahan, besok besok tertawa lagi. Karena pendendam adalah sifat pribadi pengecut. Memaafkan adalah sifat pribadi pemberani.
Oke. kembali ke judul utama kita.
Awalnya karena aku mendengar statemen, "biarlah lah lonte. kalau kami lonte mahal. kaukan lonte murah."
Agak-agak gimana gitu aku dengarnya walaupun tidak begitu aku ngeh-kan.
Pertanyaan dalam hatiku, "Kenapa jadi lonte dibangga-banggain? Mau murah atau mahal kan tetap saja lonte..."
Apa cuma aku yang masih merasa sebutan 'itu' negatif?
Apa cuma aku yang merasa risih ketika seorang wanita menyebut dirinya lonte mahal dengan bangga?
Apa aku salah dengan perasaan ini?
Jika salah, lalu dimana letak harga diri perempuan itu?
Sudahlah. Sudah.
Mungkin memang zamannya uda seperti itu. Wanita tak lagi berbicara santun. Mulut tak lagi berbicara luhur. Kemaluan sudah luntur.
Lalu, aku yang masih belum menerima zaman ini, aku harus kemana?
Ikut bergulir?
Ikut saja waktu membawa tanpa peduli dengan mereka-mereka.
Tapi aku prihatin melihat mereka.
Tapi aku juga tidak mau seperti mereka.
Munafik?
Tidak.
Aku hanya meyakini bahwa wanita seharusnya berbudi luhur bertutur lembut.
Aku hanya meyakini bahwa seorang wanita tidak mahal dan tidak murah.
Wanita tidak ternilai harganya.
Wanita tidak dapat dikalkulasikan dengan angka dan hitung-hitungan belaka.
Komentar
Posting Komentar
Jangan jadi silent reader. Tinggalkan jejakmu di sini ya.. :)